Perubahan Iklim dan Ancaman Hilangnya Kedaulatan Negara di Pasifik
- Marketing Mertani
- 21 jam yang lalu
- 4 menit membaca

Dalam kajian hubungan internasional, lingkup keamanan pada awalnya hanya berfokus pada perang, persenjataan, dan politik perebutan wilayah. Namun, kini isu perubahan iklim terbukti menjadi ancaman serius terhadap keamanan manusia di tingkat global. Ancaman tersebut tidak lagi berwujud tentara bersenjata, melainkan meningkatnya suhu bumi yang memicu berbagai krisis. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu negara, tetapi meluas ke berbagai sektor, termasuk ekonomi dan bahkan kedaulatan suatu negara.
Ā
Perubahan Iklim sebagai Threat Multiplier
Perubahan iklim membuat kerentanan bumi semakin parah. Pemanasan global mendorong terjadinya bencana-bencana yang semakin intens dan ekstrem. Temuan ilmiah terkini menegaskan bahwa risiko terhadap sistem sosial dan sumber daya esensial meningkat seiring pemanasan global. Namun, risiko ini dirasakan secara tidak merata bahkan hanya memperberat kondisi hidup kelompok miskin, petani subsisten, dan komunitas pesisir yang kemudian memperbesar ketimpangan dan potensi konflik lokal. Dampak tersebut menunjukkan adanya ancaman terhadap keamanan manusia. Kini, dasar-dasar yang menjadi keamanan manusia juga termasuk pada konteks pembahasan keamanan internasional. PBB sendiri menegaskan bahwa keamanan manusia mencakup kebebasan dari rasa takut dan kebebasan dari kekurangan dan perubahan iklim mencerminkan dampak pada keduanya sekaligus.
Masyarakat kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan dan air, lalu dipaksa hidup dalam ketidakpastian yang menimbulkan rasa takut. Situasi ini tidak berhenti pada ranah domestik semata, sebab dampak perubahan iklim memiliki sifat lintas batas. Krisis yang awalnya terlihat lokal dapat berkembang menjadi isu internasional yang dapat memicu arus migrasi, meningkatkan ketegangan antar negara atas perebutan sumber daya, sampai mempengaruhi stabilitas politik kawasan. Dengan kata lain, isu iklim yang semula dianggap masalah lingkungan domestik, kini telah bermetamorfosis menjadi persoalan keamanan internasional yang menguji solidaritas, diplomasi, dan tata kelola global.
Ā
Pasifik sebagai Cermin Iklim yang Mengancam Kehidupan
Kawasan Australia Pasifik seringkali dihantam isu iklim pada kenaikan permukaan air lautnya akibat perubahan iklim yang ekstrim. Menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kenaikan permukaan laut global rata-rata mencapai 3,7 milimeter per tahun. Angka tersebut terlihat seperti angka yang tidak mengancam eksistensi sebuah wilayah tetapi bagi negara-negara kecil di wilayah Australia Pasifik hal ini sangat mengancam kehidupan mereka di negaranya.
Dengan wilayah negara yang hanya memiliki luas daratan 26 kilometer persegi dan ketinggian rata-rata 2 meter dari permukaan laut, Tuvalu diproyeksikan akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang. Begitu juga di Kiribati yang bahkan sudah membeli lahan di Fiji sebagai solusi jika kondisi wilayahnya semakin buruk akibat perubahan iklim tersebut.

Ā
Perubahan iklim di Pasifik tersebut menunjukkan betapa bahaya akan krisis iklim yang semakin merapuhkan konsep keamanan manusia (human security). Air laut yang merembes merusak sumber air tawar, gagal panen membuat pangan langka, badai semakin sering melanda, dan rumah-rumah hancur diterjang banjir langsung dirasakan efeknya oleh penduduk Tuvalu dan Kiribati. Semua hak-hak sebagai manusia terancam bahkan hilang akibat isu iklim.
Ā
Ā
Dari Krisis Lingkungan Hingga Krisis Kedaulatan
Inilah bukti nyata bahwa pada titik ini, isu iklim tidak lagi dapat dipandang semata sebagai persoalan lingkungan. Jika daratan suatu negara hilang, maka batas teritorial, wilayah laut, hingga identitas negara tersebut turut terancam. Berdasarkan UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut PBB, batas laut ditetapkan berdasarkan garis pantai. Namun, apabila garis pantai tenggelam, negara tersebut berpotensi kehilangan hak maritimnya.
Dilema inilah yang tengah dirasakan oleh Tuvalu, Kiribati, dan negara-negara lain di kawasan Pasifik. Mereka bahkan telah mengajukan permintaan kepada PBB agar batas laut mereka tetap diakui meskipun daratannya hilang. Jika permohonan tersebut tidak diterima, mereka berisiko kehilangan sumber daya laut, perikanan, dan energi yang menjadi penopang utama perekonomian negara. Hilangnya kedaulatan juga berarti hilangnya legitimasi politik dan pengakuan hukum internasional. Akibatnya, mereka dapat kehilangan kursi di PBB, hak suara di forum global, serta eksistensi sebagai bangsa yang memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Dengan kata lain, perubahan iklim tidak hanya merampas daratan, tetapi juga menghapus identitas sebuah bangsa.

Ā
Fenomena pengungsi akibat isu iklim dapat menjadi konsekuensi serius pada kasus ini. Relokasi penduduk dari negara-negara yang tenggelam ke negara tetangga tidak hanya soal memindahkan orang, tetapi juga menyangkut identitas, hak hidup, dan penerimaan sosial dan mereka harus menemukan hak-hak tersebut di wilayah yang baru. Masalahnya, kedatangan pengungsi iklim bisa memunculkan ketegangan sosial.Ā Warga lokal mungkin merasa sumber daya mereka, lahan, akses air, lapangan pekerjaan akan terancam oleh kehadiran pendatang baru. Sehingga mendorong potensi konflik horizontal muncul seperti bentrokan antar komunitas, diskriminasi, hingga marginalisasi kelompok migran.
Ā
Selain itu, akibat yang dirasakan negara kecil karena isu iklim juga memunculkan rasa protes mereka terhadap negara-negara besar di Australia Pasifik. Protes ini diajukan atas dasar negara-negara besar seperti Australia dan Selandia Baru menyumbang porsi terbesar dari penggunaan emisi karbon. Meskipun kedua negara tersebut memang memberikan bantuannya terhadap negara-negara yang terdampak, tetapi mereka tetap bergantung pada batu bara dan emisi tinggi yang menjadi akar masalah perubahan iklim ini. Ketidaksesuaian kebijakan ini membuat negara-negara kecil Pasifik merasa Australia tidak konsisten dalam menghadapi isu iklim.
Kisah negara-negara Pasifik seharusnya menjadi alarm global. Jika dunia gagal bertindak, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan lahirnya fakta baru yakni negara yang hilang karena iklim. Dampaknya akan merembet ke seluruh sistem internasional dari hukum internasional, keanggotaan organisasi global, tata kelola migrasi, hingga memicu instabilitas kawasan regional
Namun, kisah ini juga memberikan ruang refleksi. Bahwa solidaritas internasional bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Isu kedaulatan negara di Pasifik adalah potret ekstrem dari apa yang bisa terjadi jika dunia terus menunda aksi iklim. Inilah mengapa perubahan iklim pada hakikatnya menjadi isu persoalan lintas batas. Udara yang tercemar di satu negara akan terbawa angin dan memengaruhi kualitas udara di negara tetangga. Gas rumah kaca yang dilepaskan dari industri di belahan dunia utara sama-sama memanaskan atmosfer yang menyelimuti penduduk di belahan dunia selatan.
Dengan kata lain, dampaknya tidak lagi dirasakan hanya oleh negara atau wilayah yang melakukan tindakan yang mengancam lingkungan, tetapi juga dirasakan secara kolektif oleh seluruh dunia. Karena itulah, ancaman ini tidak dapat diatasi secara sepihak, melainkan membutuhkan kerja sama global yang kokoh. Tanpa koordinasi lintas negara, krisis iklim hanya akan menimbulkan kerentanan bersama yang berujung pada instabilitas internasional.
Ā
Dapatkan informasi terbaru mengenai teknologi, isu lingkungan terkini, dan perkembangan Internet of ThingsĀ (IoT) dengan mengikuti aktivitas kami di:
Website:Ā mertani.co.idĀ
YouTube:Ā mertani officialĀ
Instagram:Ā @mertani_indonesia
Linkedin :Ā PT Mertani
Tiktok :Ā mertaniofficial
Ā
Penulis: Shalda Puteri Hawari
Ā
Sumber:
Komentar